Review Film Maleficent: Mistress of Evil

Jum'at, 18 Oktober 2019 - 13:30 WIB
Review Film Maleficent: Mistress of Evil
Review Film Maleficent: Mistress of Evil
A A A
Lima tahun berlalu, kisah peri dari Moors, Maleficent, kembali hadir ke layar lebar. Masih menampilkan Angelina Jolie sebagai peri terkuat Maleficent, film ini berusaha membawa penontonnya untuk menikmati dunia penuh keajaiban di hutan Moors dengan berbagai makhluk aneh dan warna yang menakjubkan. Maleficent: Mistress of Evil memberikan banyak sentuhan magis dan Moors yang lebih berwarna.

Maleficent kini tinggal di Moors bersama Aurora (Elle Fanning) yang telah beranjak dewasa. Gadis itu telah ditahbiskan sebagai Ratu Moors. Dia juga melanjutkan hubungannya dengan Pangeran Philip (Harris Dickinson). Hingga suatu hari, Philip akhirnya melamar Aurora. Lamaran itu pun diterima Aurora. Philip kemudian mengundang Aurora dan Maleficent agar datang untuk makan malam ke istana.

Maleficent awalnya tidak mau berangkat ke jamuan tersebut. Dia juga tidak setuju dengan pertunangan itu. Namun, demi kebahagiaan Aurora, Maleficent pun pergi. Bersama Diaval (Sam Riley), Maleficent dan Aurora pergi ke istana. Di sana, mereka disambut Philip dan kedua orang tuanya, Raja John (Robert Lindsay) dan Ratu Ingrith (Michelle Pfeiffer).

Raja John senantiasa berusaha mewujudkan perdamaian antara kerajaannya dengan Moors. Dia percaya, manusia dan peri bisa hidup saling berdampingan. Sayang, pandangan ini tidak dimiliki sang Ratu. Ingrith yang hidup penuh dengan dendam, ingin menguasai Moors dan membunuh Maleficent. Jamuan makan malam itu pun dia manfaatkan untuk membakar kebencian kepada Maleficent.

Maleficent dan Aurora bertengkar malam itu. Maleficent kemudian pergi meninggalkan Aurora di istana. Di tengah perjalanannya, Maleficent diserang dengan besi dan jatuh ke sungai beraliran deras. Maleficent nyaris mati saat itu. Namun, dia diselamatkan Conall (Chiwetel Ejiofor), yang ternyata adalah seorang Fey, sama seperti dirinya. Maleficent pun akhirnya tahu bahwa dia bukan satu-satunya Fey di dunia. Para Fey itu pergi ke dunia bawah tanah karena tersingkir oleh manusia. Kondisi itu membuat Maleficent marah.

Meski tak sedramatis cerita di Maleficent pertama yang dirilis pada 2014, Maleficent: Mistress of Evil masih memiliki sentuhan emosi yang dalam. Hubungan Maleficent dan Aurora diuji di film ini. Aurora yang termakan manipulasi Ratu Ingrith nyaris menganggap bahwa Maleficent benar-benar jahat. Meskipun di hati kecilnya dia tahu bahwa dia tetap menyayangi penyihir itu sebagai ibunya.

Di sisi lain, Maleficent merasa telah kehilangan semuanya. Kepergian Aurora membuatnya bersedih. Sementara, pertemuannya dengan Conall dan teman-temannya membuatnya lega karena dia tidak sendirian. Namun, sebuah peristiwa tragis membuatnya marah. Dia pun merasa tidak ada lagi yang harus dipertahankan.

Ada sejumlah momen menyentuh di film ini. Sementara, sejumlah adegan komedi pun tercipta oleh ulah Maleficent atau pun peri lainnya. Cerita di film ini memang lebih fresh dan menarik untuk diikuti. Disutradarai Joachim Ronning, sekuel Maleficent ini tampil dengan warna yang lebih cerah. Film ini akan lebih asyik ditonton dengan teknologi 3D atau IMAX.

Namun, ada sejumlah bagian di film ini yang terasa tidak orisinal. Salah satunya bahkan akan membuat penonton teringat Avengers: Infinity War atau Endgame. Ada juga yang justru mengingatkan saya pada Avatar besutan James Cameron. Penampilan Harry Dickinson sebagai Pangeran Philip pun tak terlalu mengesankan. Sementara film ini adalah film untuk remaja atau di bawah bimbingan orang tua, nuansa cerita yang dark di film ini mungkin tidak akan bisa dinikmati anak-anak.

Di sisi lain, penampilan Angelina Jolie dan Michelle Pfeiffer di film ini sama-sama saling mencuri perhatian. Maleficent tetap tampil sebagai penyihir yang canggung dan kaku di tangan Angelina. Sedangkan Ratu Ingrith tampil meyakinkan sebagai ratu dengan ambisi jahat yang manipulatif oleh Michelle. Penampilan dua aktris yang sudah sama-sama malang melintang di dunia perfilman Hollywood inilah yang membuat film ini masih enak dinikmati. Sayang, penampilan Chiwetel Ejiofor terlalu singkat sebagai Conall dan terasa sekali disia-siakan. Meskipun ada Ed Skrein, tapi karakternya sebagai Borra tidak terlalu kuat dan tidak semenarik Conall, sehingga kurang nendang.

Maleficent: Mistress of Evil tampil menarik dengan warna cerah dan keajaiban dari Moors. Emosi yang tercipta di film ini menarik untuk diikuti dengan cerita yang lebih fresh.

(alv)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4818 seconds (0.1#10.140)